KH Hasan Abdullah Sahal tidak bisa menahan haru pada saat memberi amanah pada Reuni Akbar Alumni Pondok Modern Gontor, Sabtu, 3 September 2016. Beliau sesenggukan di depan panggung, menahan nafas sebentar, merasakan luapan kegembiraan yang luar biasa melihat 11.000 alumni Gontor tumpah ruah di bawah tenda raksasa yang dipasang memanjang dari depan Masjid hingga gedung Saudi.
Beliau senang sekali, sambil berkata: "Antum semua penting, tidak ada yang lebih penting antara satu orang dengan yang lain. Yang datang ke sini semuanya berpikir maksimal. Sudah berhari-hari, berbulan-bulan berpikir agar peringatan 90 tahun Gontor ini berjalan maksimal. Walaupun bukan hadis, saya katakan seperti qaul yang sering kita dengar 'i'mal lidunyaaka kaannaka ta'iisyu abadan wa'mal liaakhiratika kaannaka tamuutu ghadan'. Semuanya nomor satu, tidak ada yang dinomorduakan"
Beliau berpesan agar kita bekerja bukan untuk pencitraan belaka. Kekiaian dan kesantrian tidak perlu digembar-gemborkan. Orang yang tidak punya nama, akan mencari nama. Orang yang tidak punya titel, akan mencari titel. Orang yang tidak punya jabatan, akan mencari jabatan. Kita tidak termasuk itu.
Cukuplah mazahib yang sudah ada selama ini, Syafi'i, Hambali, dan seterusnya. Janganlah ditambah satu mazhab lagi yaitu mazhab jaibiyyah, pocketisme. Baru mau kerja kalau ada amplop. Ngga ada SK beramplop maka ngga mau kerja.
Pak Kiai menegaskan mengapa di Gontor selalu dinyanyikan lagu Indonesia Raya, sebelum Hymne oh Pondokku karena Gontor dan pesantren lain adalah pelaku perjuangan. Sejak zaman penjajahan, pesantren berada dalam garda terdepan untuk berjuang melawan penjajah.
Di sini, memang ada marhalahisme, penggolongan antar periode, yang dipelopori oleh Abu Sittin, alumni tahun 60an. Namun demikian, saat bertemu dalam satu kesempatan semua menjadi cair. Tidak ada lagi sekat-sekat yang membedakan antara satu periode dengan periode yang lain.
Alumni Gontor jika bertemu dengan alumni Gontor yang lain akan hilang semua sekat-sekat. Karena di Gontor diajarkan Fakultas Ukhuwwah Islamiyyah yang bisa jadi tidak diajarkan di Universitas lain. Kalaupun seseorang mempunyai paham lebih banyak Muhammadiyah atau NU, saat bertemu sesama alumni, semuanya mencair untuk kemudian bersatu dalam wadah keislaman. Pernah ada seorang yang sangat fanatik dengan paham Muhammadiyah, pokoknya semua menantunya harus Muhammadiyah. Tetapi ketika yang melamar anaknya alumni Gontor, maka NU-Muhammadiyah itu hilang, walaupun sesungguhnya yang melamar itu lebih dekat dengan NU. Gontor di atas dan untuk semua golongan. Tidak ada Nu tidak ada Muhammadiyah, yang ada mungkin Nahdlatul Muhammadiyah.
Kiai Ahmad Sahal berbeda, Kiai Imam Zarkasyi berbeda, Kiai Zaenuddin Fannanie berbeda. Tetapi yang ditunjukkan adalah perbedaan itu tidak boleh menjadi alasan berpecah belah. Mereka menunjukkan mampu bersatu bahu membahu membangun Gontor yang kita lihat sampai sekarang.
Satu Fakultas lagi yang ada di Gontor dan dicontohkan langsung oleh para pendiri adalah Fakultas Keikhlasan. Mungkin perbedaan para pendiri itu begitu banyak, terkadang keras, tetapi yang menyatukan semuanya adalah KEIKHLASAN. Tanpa keikhlasan, tidak mungkin Gontor bisa solid sampai sekarang.
Maka kita didik anak-anak untuk mandiri. Semuanya dari hasil didikan kita sendiri, agar mereka terbiasa menjadi pemimpin di masyarakat. Masa saya wasiatkan agar alumni Gontor bisa menjadi pemimpin di masyarakat, agar pemimpin bangsa ini di masa depan dipenuhi oleh jiwa kepondokmodernan, yaitu keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwwah islamiyyah dan kebebasan.
Bebas dalam berpikir, bebas dalam bertindak, asal jangan kebablasan, bukan bebas sebebas-bebasnya karena dibingkai dalam jiwa kepondokmodernan. Jangan sampai anak-anakku menjadi MUSFIR (Muslim tapi Kafir) ataupun MUNTABER (Munafik tapi Berhasil).
Tema peringatan 90 tahun ini adalah mengestafetkan nilai-nilai pondok untuk kemuliaan umat dan bangsa. Kami-kami ini rata-rata sudah 70 tahun. Sekarang ini, praktis kami hanya 30% melakukan tugas-tugas kepemimpinan, dan 70% sudah kami serahkan semuanya kepada para kader. Kita siapkan agar kapan saja kami dipanggil, para kader ini sudah siap.
Begitulah nasihat kiai Hasan itu terngiang, merasuk ke dalam mata hati dan jiwa. Tak terasa air mata saya ikut menitik sambil berbisik pelan, duhai diri, mereka sudah berjuang begitu banyak, apa yang sudah kau berikan untuk umat dan bangsa?
Gontor, 4 Sep 2016
*DAKWAH KARENA ALLAH DAKWAH UNTUK SEMUA*